Belajar menerima kenyataan dan mengikhlaskan

Belajar menerima kenyataan dan mengikhlaskan

Seorang teman pernah menasehatkan kalimat seperti itu. Terasa sekali benarnya. Tidak ada yang salah. Belajar menerima kenyataan dan mengikhlaskan akan melapangkan hati kita. Tapi terasa juga beratnya melakukan nasehat tersebut. Begitulah. Pengetahuan akan suatu kebenaran tidak selalu membawa pada pelaksanaan perbuatan. Lebih simplenya, kita tau teorinya tapi sulit untuk mempraktekannya.

Belajar menerima kenyataan dan mengikhlaskan

Bagaimana kalau kenyataan itu begitu pahit? bukankah wajar bila lidah kita ini sulit menerima? Sulit kita ikhlaskan.

Kadang kala logika tidak sejalan dengan hati. Kadang kala, Logika tahu benar kebenarannya seperti ini, bijaksananya seperti ini, tapi kadang hati tidak mau mengikuti. Kadang, hati punya mekanismenya sendiri. Entahlah.

Mungkin karena itulah teman saya itu menyematkan kata "Belajar" di awal kalimat. Bahwa menerima kenyataan dan mengikhlaskan itu tidak selalu mudah, maka kita harus pelan-pelan belajar.

Bahwa segala sesuatu adalah karena KehendakNya...

Bahwa kenyataan ini adalah skenario yang dipilihkan Tuhan untuk kita untuk menjadikan kita kuat...

Tuhan memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Tuhan mempertemukan orang yang kita sayangi dan menyayangi kita, yang kita cintai dan mencintai kita, yang kita benci dan membenci kita, yang membahagiakan kita, yang mengecewakan kita, yang membuat kita sedih dan terluka. Semata-mata untuk melengkapkan kita. Bahwa kehidupan tidak akan selalu manis. Bahwa kita juga sesekali harus mencicipi pahit dan sepah kehidupan.Tuhan tahu yang terbaik untuk hambanya.

kita hanya perlu

Belajar menerima kenyataan dan mengikhlaskan

050911

Pagi yang gelisah. Berlalulah!

posted under | 1 Comments

Kilometer

Pada kilometer yang kubentangkan, sedang ingin kunikmati aroma-aroma lupa.
Mungkin bebauan di sana bisa menjadi semacam aroma terapi bagi gelisah.
Mungkin udara yang berbeda dapat menerobos masuk dan melapangkan dada.
Mungkin pada sekian jarak segalanya akan menjadi baik-baik saja.
Tanpa saling mendengar lagi.
Tanpa saling bicara lagi.
Tanpa saling melihat lagi.
Segalanya...
Akan lebih mudah...
Semoga...

060911

Surabaya lebih aman bagi hatiku. Kukira.

Masokis Perasaan


Aku menyebutmu seorang masokis perasaan. Lupakan tentang tata bahasa karena bagiku istilah itu telah sempurna. Kau yang kini diam di hadapanku. Kau yang menatap lama pada satu titik yang jika kutelusuri lurus matamu akan jatuh pada sebuah dunia asing yang tak kutahu. Kau yang selalu tersesat pada duniamu sendiri.

Aku berada tepat di hadapanmu. Jarak kita hanya beberapa senti. Tapi aku tak pernah mengerti.
Sudah hampir setahun dia pergi. Sudah setahun dia menghilang begitu saja. Sudah setahun sejak tragedi luka itu. Sudah setahun tapi kau masih tak juga pergi dari masa lalu yang menyakitkan itu. Kau terus mengingatnya, melamunkan, dan memutar-mutar di kepala. Entah untuk yang ke berapa ribu kali dan entah untuk apa. Aku curiga kau sudah kecanduan masa lalu.

Masokis perasaan, itu vonis terakhir yang kujatuhkan untukmu. Dan kau tak pernah menolaknya. Kau hanya diam saat aku mencacimu seperti itu. Dan bukankah diam artinya setuju?

Kau yang suka sekali berenang dalam luka. Ya! Berenang...bukan tenggelam...karena aku merasa kau menikmati segala lukamu. Kau yang memelihara perasaan sakitmu seperti memelihara ikan di akuarium. Terus kau beri makan hingga mereka tumbuh dan berkembang. Kau yang tidak hanya duduk di dekat sumber kesedihanmu, tapi juga saling bicara dan saling memeluk. Kau yang tak pernah berusaha keluar dari semua ini.

Kau yang dia jatuhkan di jurang. Semua orang mengulurkan tangan, menurunkan tali, menyiapkan tangga. Beberapa orang menawarkan hatinya. Tapi kau tak pernah meraih itu semua. Kau lebih suka di sana. Duduk dalam kegelapan. Sendirian.

Jujur saja aku mulai bosan dan putus asa. Aku mulai jengah melihatmu terus menerus menangis. Terus menerus sakit, diam dan menghampa. Aku mulai merindukan kau yang tersenyum. Kau yang ceria. Kau yang tertawa. Kau yang bebas dan menari. Kemana semua itu pergi?

Sekali lagi kutatap matamu. Sembab. Pasti karena semalam kau habis-habisan memeras lagi kantung airmatamu. Wajahmu layu dan kaku. Kau sudah seperti mayat hidup.

Tiba-tiba aku ingin sekali menggoyang-goyang tubuhmu hingga kau bangun. Menampar wajahmu agar kau sadar. Dan menarikmu paksa dari kesedihan yang kau pelihara. Tapi aku tak pernah bisa.

Aku, yang mereka namakan Logika tak pernah bisa menyembuhkanmu.
Kau yang kini di hadapanku terpisahkan oleh batas yang entah apa.

280811

posted under | 0 Comments

One Last Breath

One Last Breath

Oleh Lucia Dwi E

Matahari merangkak ke barat. Langit sedang dipoles indah. Merah, ungu, oranye, kuning, abu-abu. Taman ini mulai sepi. Bocah-bocah yang sedari tadi bermain dengan patung gajah dan bak pasir sekarang sudah pulang. Suara-suara tawapun menyirna. Sepi. Tinggal aku dan seorang penjual balon yang berpakaian badut dengan hidung merah dan bokong besarnya. Dan kurasa sebentar lagi dia juga akan meninggalkan taman ini. Maka sempurnalah kesepianku.

Haha…Sepi itu sudah menjelma menjadi bayanganku sendiri. Aku jatuh, jungkir balik, tertawa, menangis, meraung dalam sepi dan sendiri. Tidak perlu lagi rasa kasihan untukku. Aku telah penuh dengan rasa mengasihani diri sendiri. Aku adalah makhluk paling menyedihkan di dunia. Aku makhluk paling kesepian di dunia. Semua ini karena kepergian satu orang. Satu orang yang kucintai sampai hampir gila. Tapi dia pergi. Dia memutuskan untuk pergi.

Satu bulan dan aku seperti mayat hidup. Aku dengar orang-orang mulai mengira aku gila. Mereka aneh! Siapa yang gila? Aku ini masih sadar. Masih seratus persen waras.

Badut itu tiba-tiba berjalan menghampiriku dan menyodorkan satu balon berwarna merah sambil tersenyum. Mulutnya yang lebar semakin lebar saja. Aku menerima balon merah itu tanpa ekspresi apapun. Dan dia langsung pergi dan berlalu. Apakah wajahku sekarang separah itu? Apakah wajahku sekarang terlihat seperti orang yang sangat menyedihkan? Yang pantas dikasihani? Hingga badut itu mencoba menghiburku dengan sebuah balon berwarna merah? Kupeluk erat-erat balon merah itu dan kurasakan hatiku bergejolak. Gelisah dan meletup-letup. Aku seperti ingin meledak. Sudah sebulan kutahan-tahan. Kerinduan yang berpadu dengan sepi, rasa takut, kesedihan dan kecemasan. Inikah titik kulminasi perasaan. Aku merindukannya. Sangat . Rindu? Ah! Kenapa kata-kata ini terdengar menyakitkan sekarang?

To : 08565500…

Tolong datang sekarang. Aku ingin jatuh.

Message sent

Semenit, dua menit, lima menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam.

Sudah malam dan tak ada balasan. Dia sudah tidak peduli. Dia sudah melupakanku.

To: 08565500…

Datanglah. Kalau tidak aku benar-benar jatuh.

Message sent

Semenit, dua menit, lima menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam.

Sudah hampir larut malam. Dan tidak ada balasan. Berarti dia mengamini kejatuhanku. Dia ingin aku jatuh. Aku tahu sakarang. Baiklah jika itu yang kau inginkan.

* * *

Don't know, don't know if I can do this on my own
Why do you have to leave me?
It seems I'm losing something deep inside of me
Hold on, hold onto me

00.51 handphoneku tiba-tiba menyanyi. 08565500…itu nomernya! Dia membalas. Hatiku hampir meledak saat membuka pesan darinya.

Berhentilah menggangguku. Temukan jalanmu sendiri. Aku sudah tidak mencintaimu.

Berhentilah menggangguku. Temukan jalanmu sendiri. Aku sudah tidak mencintaimu. Kombinasi tiga kalimat yang mampu mengiris-iris hatiku. Perih..perih sekali rasanya. Aku seperti lebih dari sekedar terluka dan berdarah.

Baiklah! Aku akan menemukan jalanku sendiri. Mungkin memang takdirku adalah jatuh. Dan tempat aku menuju tidak lain adalah tempat bernama nowhere. Tak ada lagi tempat bagi orang yang telah hancur sepertiku selain nowhere. Aku akan kesana. Besok aku akan kesana. Nowhere telah menungguku.

* * *

To : 08565500…

Besok saat senja telah berpulang. Saat matahari sampai pada persembunyiaannya. Jangan mencariku lagi. Karena aku mungkin sudah berada di tempat bernama nowhere. Dan kamulah satu-satunya alasan yang membuatku ingin pergi kesana.

Message sent

* * *

Maka di sinilah aku berada. Di tepi gerbang ke tempat bernama nowhere. Aku takut sebenarnya. Aku sangat takut. Tapi aku lebih takut hidup dalam kesepian dan hati yang penuh lubang. Maka di sinilah. Satu meter dari tempat bernama nowhere dan pada ketinggian 30 meter. Tempat ini sangat cukup untuk membawaku pergi selamanya.

Gedung tinggi ini tepat berada di depan taman dimana biasa menunggu senja. Letaknya di pusat kota dan dikelilingi jalanan yang ramai. Seorang gadis yang tiba-tiba berada di puncak gedung dan hanya beberapa meter dari tepi pasti akan menjadi hiburan tersendiri bagi orang-orang. Maka memang tidak lama waktu antara aku berdiri di tepi dan orang-orang yang berkerumun melihat ke atas. Melihatku. Sebentar lagi seorang gadis akan berakrobat jatuh dari gedung. Akrobat yang akan mengantarkannya ke tempat bernama nowhere. Orang-orang di bawah pasti sudah menunggu pertunjukan ini. Mereka pasti sudah bosan dengan rutinitas. Hidup yang datar dan stagnan. Dan hiburan seperti ini yang mereka butuhkan. Menyenangkan sekali saat menyadari aku sendirilah yang akan menghibur mereka.

Satu langkah aku mendekati tepi. Di bawah semakin banyak orang yang berkumpul. Dari sini tidak begitu jelas ekspresi wajah mereka. Entah mereka cemas, bingung, heran, atau mereka menertawakanku? Menertawakan kebodohanku? Hei! Aku ini sedang menghibur kalian. Kulihat sekeliling, tukang balon berpakaian badut berdiri di depan taman. Dia melihat ke atas. Melihatku. Ah! Aku bahkan belum berterima kasih kepadanya atas hadiah balon merah kemarin.

Sebentar lagi aku akan menuju tempat bernama nowhere. Sebentar lagi rohku akan melayang dari ragaku. Sebentar lagi dan kuharap dia datang mencegahku. Menangkap tanganku dan berkata “Kau tidak boleh jatuh. Kau tidak boleh pergi. Aku mencintaimu. Sangat”. Tapi semua itu hanya sekedar angan-angan yang mustahil menjelma kenyataan. Dia tidak akan datang. Aku tahu dia tidak akan datang. Aku sudah menjadi bukan siapa-siapa bahkan bukan apa-apa. Ketidakpeduliannya sudah menyempurna. Dia sudah tidak peduli padaku. Meskipun aku mati. Takdirku memang jatuh.

Orang-orang semakin banyak berkerumun. Aku maju selangkah lagi. Kini jarakku hanya 30 centi dari tepi. Kulihat wajah-wajah semakin panik bahkan beberapa berteriak histeris. Senja sudah hampir menghilang. Warna merahnya perlahan pudar dan mengabu. Badut penjual balon itu sudah meninggalkan taman. Dia mungkin tidak tertarik dengan akrobat yang aku lakukan. Biarlah.

“Nona, tolong jangan lakukan itu. Hidup anda berharga Nona.” Aku menoleh ke belakang. Tiga orang laki-laki sudah ada di atas. Hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku tersenyum sinis. Kalian tidak tahu apa-apa tentang hidupku.

“Nona, keluarga anda pasti sedih melihat anda seperti ini!” Bah! Keluaga yang mana. Aku ini sebatang kara. Tidak aka nada yang kehilangan bila aku mati. Tidak aka nada yang menangisiku.

“Pergi kalian! Kalian tidak akan bisa mencegahku melakukan ini!”

Aku mulai merentangkan tanganku. Menutup mataku dan menghitung dari sepuluh.

Sepuluh….

Sembilan…

Delapan…aku merasakan malaikat maut sudah dekat

Tujuh…dia semakin dekat

Enam…dekat

Lima…lebih dekat

Empat…semakin dekat

Tiga…sebentar lagi. Aku menghirup napas terakhirku dalam-dalam.

Dua…dia menjauh. Dia menjauh. Seseorang menangkap tanganku dan menarikku menjauh dari tepi. Lancang! Siapa yang berani-berani melakukannya! Siapa yang berani mengusir malaikat maut itu. Kubuka mataku dan kudapati sesosok berhidung merah, wajah putih, bibir lebar dan dengan perut yang menggembung. Badut ini! Berani beraninya dia!

“Kau! Kau kira apa yang kau lakukan. Aku ingin mati. Jangan mencegahku!” aku memakinya dengan segera. Badut itu malah tertawa.

“Nona. Dunia ini sudah lucu. Sudah penuh dengan badut-badut yang melucu. Kau tidak perlu jadi badut untuk menghibur orang-orang.” Badut itu tertawa. Tertawa makin keras. Mulut lebarnya semakin dan semakin lebar. Aku mulai muak dengannya.

Kutampar wajahnya yang menjengkelkan itu. Gagal sudah aku menuju tempat bernama nowhere hari ini. Gagal sudah acara akrobatku.

“Lain kali aku akan mati. Dan kau tidak akan bisa mencegahku lagi.”

Badut itu tertawa lagi. Hahahaha! Makin keras….haahahha!! Makin keras! Dan makin keras. Aku semakin muak melihat wajahnya.

Masih ada esok untuk mati.

Please come now I think I'm falling
I'm holding on to all I think is safe
It seems I found the road to nowhere
And I'm trying to escape
I yelled back when I heard thunder
But I'm down to one last breath
And with it let me say
Let me say

Hold me now
I'm six feet from the edge and I'm thinking
maybe six feet
Ain't so far down

I'm looking down now that it's over
Reflecting on all of my mistakes
I thought I found the road to somewhere
Somewhere in His grace
I cried out heaven save me
But I'm down to one last breath
And with it let me say
Let me say

Hold me now
I'm six feet from the edge and I'm thinking
maybe six feet
Ain't so far down

Sad eyes follow me
But I still believe there's something left for me
So please come stay with me
'Cause I still believe there's something left for you and me
For you and me
For you and me

(Creed – One Last Breath)

posted under | 0 Comments

I’ve Learned

I’ve Learned
by Omer B. Washington

I’ve learned that you cannot make someone love you.
All you can do is be someone who can be loved.
The rest is up to them.
I’ve learned that no matter how much I care,
some people just don’t care back.
I’ve learned that it takes years to build up trust
and only seconds to destroy it.
I’ve learned that it’s not what you have in your life
but who you have in your life that counts.
I’ve learned that you can get by on charm for about fifteen minutes.
After that, you’d better know something.

I’ve learned that you shouldn’t compare yourself
to the best others can do,
but to the best you can do.
I’ve learned that it’s not what happens to people,
It’s what they do about it.
I’ve learned that no matter how thin you slide it,
there are always two sides.
I’ve learned that you should always have loved ones with loving words.
It may be the last time you’ll see them.
I’ve learned that you can keep going
long after you think you can’t.

I’ve learned that heroes are the people who do what has to be done
When it needs to be done,
regardless of the consequences.
I’ve learned that there are people who love you dearly,
but just don’t know how to show it.
I’ve learned that sometimes when I’m angry I have the right to be angry,
but that doesn’t give me the right to be cruel.
I’ve learned that true friendship continues to grow even over the longest distance.
Same goes for true love.
I’ve learned that just because someone doesn’t love you the way you want them to
doesn’t mean they don’t love you with all they have.

I’ve learned that no matter how good a friend is,
they’re going to hurt you every once in a while
and you must forgive them for that.
I’ve learned that it isn’t always enough to be forgiven by others.
Sometimes you have to learn to forgive yourself.
I’ve learned that no matter how bad your heart is broken,
the world doesn’t stop for your grief.
I’ve learned that our background and circumstances may have influenced who we are,
but we are responsible for who we become.
I’ve learned that just because two people argue, it doesn’t mean they don’t love each other.
And just because they don’t argue, it doesn’t mean they do.

I’ve learned that sometimes you have to put the individual
ahead of their actions.
I’ve learned that two people can look at the exact same thing
and see something totally different.
I’ve learned that no matter the consequences,
those who are honest with themselves go farther in life.
I’ve learned that your life can be changed in a matter of hours
by people who don’t even know you.
I’ve learned that even when you think you have no more to give,
when a friend cries out to you,
you will find the strength to help.

I’ve learned that writing,
as well as talking,
can ease emotional pains.
I’ve learned that the people you care most about in life
are taken from you too soon.
I’ve learned that it’s hard to determine where to draw the line between being nice
and not hurting people’s feelings and standing up for what you believe.
I’ve learned to love
and be loved.
I’ve learned…

posted under | 0 Comments

Persengkongkolan Kejahatan

Kenapa kalian terus saja bersengkongkol dengan kejahatan-kejahatan?
Kenapa kalian terus saja menyebar kesakitan-kesakitan?
Apakah makna luka dan airmata telah lenyap di mata kalian?
Masihkan kalian menyimpan sesuatu bernama hati?
Masihkah kalian mempunyainya?
Aku tidak yakin.
Sungguh

: kepada F
: kepada W
: kepada persengkongkolan kejahatan

posted under , | 1 Comments

Dropping Rain


Smiling as you say goodbye,

you said to me "be happy, as though nothing was wrong"

looking my back as I walked away

I prayed I wouldn't cry because of you

if I see the flowing tears

You can leave

I can let you go

because the rain was falling

it was really ok

I couldn't see my tears,

it was ok

it's all right

I couldn't hold you back

cause the rain that could wiped out all the painfull memories in my heart was falling down

time passed, I thought I could forget

it seemed as if nothing was alive

looking your back while you walk alone

even today the rain fall down

I tried to stop

my tears that were flowing

but it's not possible for you to make me smile

because the rain was falling

it was really ok

I couldn't see my tears

it was ok

it's allright

I couldn't hold you back

'cause the rain that could wiped out all the painful memories in my heart was falling down'

just go

just leave

I'll say this words to your heart

Because my heart was crying and the rain was falling

because my heart was crying

my tears falls down

because I loved you

I couldn't hold you back

I'll Embrace the sorrow in my clear and life

I thought I may become the rain


*OST Personal Taste dengan sedikit perubahan ^^


posted under | 0 Comments
Postingan Lama

Followers

    Menulislah! Selama kamu tidak menulis, kamu akan hilang dalam arus pusara sejarah

    Menulislah! Selama kamu tidak menulis, kamu akan hilang dalam arus pusara sejarah

Recent Comments