Cerita Sebuah Wajah
Wajah itu. Mata yang menatap kosong. Ekspresi sedih dan tertekan. Dan bibir yang sudah kaku untuk tersenyum. Sudah tidak kutemukan secercah saja rona bahagia disana. Wajah itu. Pemiliknya hampir menjadi mayat hidup.
Entah kenapa aku suka berlama-lama memandang wajah itu. Aku suka terpaku menatap wajah itu sambil menikmati detik-detik yang merangkak pelan-pelan. Aku bisa menatapnya berjam-jam tanpa berkedip hanya agar aku tidak melewatkan satu ekspresipun darinya. Barangkali dia akan tersenyum. Ya barangkali tiba-tiba saja dia akan tersenyum.
Tak kuingkari, menatap wajah itu lama-lama bisa membuat kesedihan menyelimutiku. Aura kesedihan yang dipancarkan begitu kuat hingga aku seperti bisa merasakan yang dia rasakan. Sakit itu, sakit yang menderanya seperti juga mendera hatiku. Lubang yang dalam dan besar di dadaku, sama dalam dan besarnya nya dengan lubang yang ada di dirinya. Menatap wajah itu seperti menghirupku masuk dalam ruang-ruang kesedihannya.
Aku gelisah, aku marah, aku sakit hati, aku sedih sama seperti yang dia rasakan.
Tapi aku tak pernah sekalipun melangkah pergi dari wajah itu.
Tak pernah.
Wajah itu dan aku sudah terlalu dekat. Aku terlanjur menjalin suatu hubungan istimewa yang sulit kujelaskan. Yang jelas wajah itu dan aku seperti telah menyatu.
''Skiza, ini makananmu. Makanlah dulu Za!'' seorang wanita tiba-tiba muncul dengan sepiring nasi di tangannya. Wanita itu lagi. Yang selalu muncul dan mengganggu ritual khususku menatap wajah itu. Wanita aneh yang selalu berpakaian putih-putih.
Aku meliriknya sebentar dengan tatapan tidak senang. Lalu meneruskan menatap wajah itu. Kembali terhanyut dengan gelisah dan rasa sedihnya. Entah bagaimana tiba-tiba aku tertidur.
Ketika bangun aku gusar luar biasa. Wajah itu menghilang. Aku tak bisa menemukannya dimanapun. Seseorang pasti membawanya pergi. Aku marah. Aku gusar luar biasa. Bagaimana bisa wajah itu menghilang! Pasti wanita itu! Pasti wanita itu yang membawanya pergi. Dasar wanita laknat! Aku marah sekali. Tapi disini aku tidak bisa apa-apa. Ruangan serba putih ini mengurungku tanpa ampun. Aku tak bisa melempar barang-barang lagi. Hal yang dulu selalu kulakukan saat marah. Kini mereka telah menyingkirkan semua barang disini. Tak ada yang tersisa selain sebuah ranjang untuk tidur. Aku gelisah sekali, aku sedih sekali. Aku tidak bisa berpisah dengan wajah itu. Aku dan wajah itu adalah satu. Bagaimana bisa mereka membawanya pergi. Ini pasti mimpi! Aku sedang bermimpi.
Aku mulai membentur-benturkan kepalaku ditembok.
Ini mimpi!
Ini pasti mimpi!
Aku terus membentur-benturkan kepalaku ke tembok.
Ini mimpi!
Ini pasti mimpi!
Semakin keras kepalaku beradu dengan tembok.
Buk! Buk! Buk!
Ada cairan merah-merah seperti saos mang ujang, tukang bakso langgananku dulu.
Aku menjilatinya.
Asin.
Ini buka saos mang ujang.
Aku terus membentur benturkan kepalaku. Dan cairan merah itu mengalir-mengalir lebih banyak.
Dan entah kenapa aku merasa senang tapi kemudian semuanya gelap gelap gelap.
Dan aku pasti sudah berada di surga. Emm...atau neraka.
Saat aku mulai sadar. Aku mendengar perbincangan dua malaikat. Atau dua setan. Atau malaikat dan setan. Entahlah.
''Sudah kubilang untuk tidak menyingkirkan cermin itu. Beginilah akibatnya''
''Tapi cermin itulah yang membuatnya gila. Aku kira dengan menyingkirkan cermin itu akan menyingkirkan juga kegilaannya. Ternyat aku salah.''
300611
Cerpen paling hitam yang pernah kubuat
30 menit saja.
0 komentar:
Posting Komentar