One Last Breath

One Last Breath

Oleh Lucia Dwi E

Matahari merangkak ke barat. Langit sedang dipoles indah. Merah, ungu, oranye, kuning, abu-abu. Taman ini mulai sepi. Bocah-bocah yang sedari tadi bermain dengan patung gajah dan bak pasir sekarang sudah pulang. Suara-suara tawapun menyirna. Sepi. Tinggal aku dan seorang penjual balon yang berpakaian badut dengan hidung merah dan bokong besarnya. Dan kurasa sebentar lagi dia juga akan meninggalkan taman ini. Maka sempurnalah kesepianku.

Haha…Sepi itu sudah menjelma menjadi bayanganku sendiri. Aku jatuh, jungkir balik, tertawa, menangis, meraung dalam sepi dan sendiri. Tidak perlu lagi rasa kasihan untukku. Aku telah penuh dengan rasa mengasihani diri sendiri. Aku adalah makhluk paling menyedihkan di dunia. Aku makhluk paling kesepian di dunia. Semua ini karena kepergian satu orang. Satu orang yang kucintai sampai hampir gila. Tapi dia pergi. Dia memutuskan untuk pergi.

Satu bulan dan aku seperti mayat hidup. Aku dengar orang-orang mulai mengira aku gila. Mereka aneh! Siapa yang gila? Aku ini masih sadar. Masih seratus persen waras.

Badut itu tiba-tiba berjalan menghampiriku dan menyodorkan satu balon berwarna merah sambil tersenyum. Mulutnya yang lebar semakin lebar saja. Aku menerima balon merah itu tanpa ekspresi apapun. Dan dia langsung pergi dan berlalu. Apakah wajahku sekarang separah itu? Apakah wajahku sekarang terlihat seperti orang yang sangat menyedihkan? Yang pantas dikasihani? Hingga badut itu mencoba menghiburku dengan sebuah balon berwarna merah? Kupeluk erat-erat balon merah itu dan kurasakan hatiku bergejolak. Gelisah dan meletup-letup. Aku seperti ingin meledak. Sudah sebulan kutahan-tahan. Kerinduan yang berpadu dengan sepi, rasa takut, kesedihan dan kecemasan. Inikah titik kulminasi perasaan. Aku merindukannya. Sangat . Rindu? Ah! Kenapa kata-kata ini terdengar menyakitkan sekarang?

To : 08565500…

Tolong datang sekarang. Aku ingin jatuh.

Message sent

Semenit, dua menit, lima menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam.

Sudah malam dan tak ada balasan. Dia sudah tidak peduli. Dia sudah melupakanku.

To: 08565500…

Datanglah. Kalau tidak aku benar-benar jatuh.

Message sent

Semenit, dua menit, lima menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam.

Sudah hampir larut malam. Dan tidak ada balasan. Berarti dia mengamini kejatuhanku. Dia ingin aku jatuh. Aku tahu sakarang. Baiklah jika itu yang kau inginkan.

* * *

Don't know, don't know if I can do this on my own
Why do you have to leave me?
It seems I'm losing something deep inside of me
Hold on, hold onto me

00.51 handphoneku tiba-tiba menyanyi. 08565500…itu nomernya! Dia membalas. Hatiku hampir meledak saat membuka pesan darinya.

Berhentilah menggangguku. Temukan jalanmu sendiri. Aku sudah tidak mencintaimu.

Berhentilah menggangguku. Temukan jalanmu sendiri. Aku sudah tidak mencintaimu. Kombinasi tiga kalimat yang mampu mengiris-iris hatiku. Perih..perih sekali rasanya. Aku seperti lebih dari sekedar terluka dan berdarah.

Baiklah! Aku akan menemukan jalanku sendiri. Mungkin memang takdirku adalah jatuh. Dan tempat aku menuju tidak lain adalah tempat bernama nowhere. Tak ada lagi tempat bagi orang yang telah hancur sepertiku selain nowhere. Aku akan kesana. Besok aku akan kesana. Nowhere telah menungguku.

* * *

To : 08565500…

Besok saat senja telah berpulang. Saat matahari sampai pada persembunyiaannya. Jangan mencariku lagi. Karena aku mungkin sudah berada di tempat bernama nowhere. Dan kamulah satu-satunya alasan yang membuatku ingin pergi kesana.

Message sent

* * *

Maka di sinilah aku berada. Di tepi gerbang ke tempat bernama nowhere. Aku takut sebenarnya. Aku sangat takut. Tapi aku lebih takut hidup dalam kesepian dan hati yang penuh lubang. Maka di sinilah. Satu meter dari tempat bernama nowhere dan pada ketinggian 30 meter. Tempat ini sangat cukup untuk membawaku pergi selamanya.

Gedung tinggi ini tepat berada di depan taman dimana biasa menunggu senja. Letaknya di pusat kota dan dikelilingi jalanan yang ramai. Seorang gadis yang tiba-tiba berada di puncak gedung dan hanya beberapa meter dari tepi pasti akan menjadi hiburan tersendiri bagi orang-orang. Maka memang tidak lama waktu antara aku berdiri di tepi dan orang-orang yang berkerumun melihat ke atas. Melihatku. Sebentar lagi seorang gadis akan berakrobat jatuh dari gedung. Akrobat yang akan mengantarkannya ke tempat bernama nowhere. Orang-orang di bawah pasti sudah menunggu pertunjukan ini. Mereka pasti sudah bosan dengan rutinitas. Hidup yang datar dan stagnan. Dan hiburan seperti ini yang mereka butuhkan. Menyenangkan sekali saat menyadari aku sendirilah yang akan menghibur mereka.

Satu langkah aku mendekati tepi. Di bawah semakin banyak orang yang berkumpul. Dari sini tidak begitu jelas ekspresi wajah mereka. Entah mereka cemas, bingung, heran, atau mereka menertawakanku? Menertawakan kebodohanku? Hei! Aku ini sedang menghibur kalian. Kulihat sekeliling, tukang balon berpakaian badut berdiri di depan taman. Dia melihat ke atas. Melihatku. Ah! Aku bahkan belum berterima kasih kepadanya atas hadiah balon merah kemarin.

Sebentar lagi aku akan menuju tempat bernama nowhere. Sebentar lagi rohku akan melayang dari ragaku. Sebentar lagi dan kuharap dia datang mencegahku. Menangkap tanganku dan berkata “Kau tidak boleh jatuh. Kau tidak boleh pergi. Aku mencintaimu. Sangat”. Tapi semua itu hanya sekedar angan-angan yang mustahil menjelma kenyataan. Dia tidak akan datang. Aku tahu dia tidak akan datang. Aku sudah menjadi bukan siapa-siapa bahkan bukan apa-apa. Ketidakpeduliannya sudah menyempurna. Dia sudah tidak peduli padaku. Meskipun aku mati. Takdirku memang jatuh.

Orang-orang semakin banyak berkerumun. Aku maju selangkah lagi. Kini jarakku hanya 30 centi dari tepi. Kulihat wajah-wajah semakin panik bahkan beberapa berteriak histeris. Senja sudah hampir menghilang. Warna merahnya perlahan pudar dan mengabu. Badut penjual balon itu sudah meninggalkan taman. Dia mungkin tidak tertarik dengan akrobat yang aku lakukan. Biarlah.

“Nona, tolong jangan lakukan itu. Hidup anda berharga Nona.” Aku menoleh ke belakang. Tiga orang laki-laki sudah ada di atas. Hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku tersenyum sinis. Kalian tidak tahu apa-apa tentang hidupku.

“Nona, keluarga anda pasti sedih melihat anda seperti ini!” Bah! Keluaga yang mana. Aku ini sebatang kara. Tidak aka nada yang kehilangan bila aku mati. Tidak aka nada yang menangisiku.

“Pergi kalian! Kalian tidak akan bisa mencegahku melakukan ini!”

Aku mulai merentangkan tanganku. Menutup mataku dan menghitung dari sepuluh.

Sepuluh….

Sembilan…

Delapan…aku merasakan malaikat maut sudah dekat

Tujuh…dia semakin dekat

Enam…dekat

Lima…lebih dekat

Empat…semakin dekat

Tiga…sebentar lagi. Aku menghirup napas terakhirku dalam-dalam.

Dua…dia menjauh. Dia menjauh. Seseorang menangkap tanganku dan menarikku menjauh dari tepi. Lancang! Siapa yang berani-berani melakukannya! Siapa yang berani mengusir malaikat maut itu. Kubuka mataku dan kudapati sesosok berhidung merah, wajah putih, bibir lebar dan dengan perut yang menggembung. Badut ini! Berani beraninya dia!

“Kau! Kau kira apa yang kau lakukan. Aku ingin mati. Jangan mencegahku!” aku memakinya dengan segera. Badut itu malah tertawa.

“Nona. Dunia ini sudah lucu. Sudah penuh dengan badut-badut yang melucu. Kau tidak perlu jadi badut untuk menghibur orang-orang.” Badut itu tertawa. Tertawa makin keras. Mulut lebarnya semakin dan semakin lebar. Aku mulai muak dengannya.

Kutampar wajahnya yang menjengkelkan itu. Gagal sudah aku menuju tempat bernama nowhere hari ini. Gagal sudah acara akrobatku.

“Lain kali aku akan mati. Dan kau tidak akan bisa mencegahku lagi.”

Badut itu tertawa lagi. Hahahaha! Makin keras….haahahha!! Makin keras! Dan makin keras. Aku semakin muak melihat wajahnya.

Masih ada esok untuk mati.

Please come now I think I'm falling
I'm holding on to all I think is safe
It seems I found the road to nowhere
And I'm trying to escape
I yelled back when I heard thunder
But I'm down to one last breath
And with it let me say
Let me say

Hold me now
I'm six feet from the edge and I'm thinking
maybe six feet
Ain't so far down

I'm looking down now that it's over
Reflecting on all of my mistakes
I thought I found the road to somewhere
Somewhere in His grace
I cried out heaven save me
But I'm down to one last breath
And with it let me say
Let me say

Hold me now
I'm six feet from the edge and I'm thinking
maybe six feet
Ain't so far down

Sad eyes follow me
But I still believe there's something left for me
So please come stay with me
'Cause I still believe there's something left for you and me
For you and me
For you and me

(Creed – One Last Breath)

posted under |

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Facebook Dunia Uchi

Mencari Jalan

Tanpa kompas bagaimana menentukan arah? Barat, timur, utara, selatan makin sering tertukar.
Dimana-mana aku mati membaca pertanda. Selalu.

Mengenai Saya

Foto saya
Surabaya, east Java, Indonesia
Seorang mahasiswa yang suka menulis apapun...

Total Tayangan Halaman

Followers

    Menulislah! Selama kamu tidak menulis, kamu akan hilang dalam arus pusara sejarah

    Menulislah! Selama kamu tidak menulis, kamu akan hilang dalam arus pusara sejarah

Recent Comments